BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Masalah
Manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon) tidak ada yang bisa hidup sendiri di dunia ini.
Maka diperlukan adanya hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain
berupa perikatan, termasuk dalam pencapaian kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia satu dan manusia lainnya berbeda sesuai usia dan status sosialnya.
Dahulu kala, orang melakukan perikatan dengan yang
lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara barter (penukaran barang
dengan barang), lalu berubah menjadi penukaran barang dengan uang barang dan
kemudian berganti menjadi barang dengan uang.
Ternyata perkembangan zaman sudah merubah peradaban
cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya melakukan transaksi
(akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit, dan lain-lain bahkan ada
perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan pemenuhan kebutuhan
tersebut.
Akibat kian hari kian banyak pula kebutuhan yang harus
dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah pendapatan, maka lahirlah ingkar
janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat yang dinamakan Wanprestasi yang
tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur, baik perjanjian itu berupa
sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas beban).
B. Identifikasi
Masalah
1.
Apa saja yang
menjadi sebab dan akibat dari wanprestasi?
2.
Bagaimana
penyelesaian perkara wanprestasi di pengadilan?
3.
Seperti apa
sanksi dan ganti rugi terhadap wanprestasi?
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Pengertian
Wanprestasi
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian,
kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.[1]
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian[2]
dan bukan dalam keadaan memaksa adapun
yang menyatakan bahwa wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.[3]
Marhainis
Abdulhay menyatakan bahwa wanprestasi
adalah apabila pihak-pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi
prestasinya.[4]
Wanprestasi
berarti tidak melakukan apa yang menjadi unsur prestasi, yakni:
a.
Berbuat sesuatu;
b.
Tidak berbuat sesuatu; dan
c.
Menyerahkan sesuatu.
Dalam
restatement of the law of contacts
(Amerika Serikat), Wanprestasi atau breach
of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Total
breachts artinya
pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan;
b. Partial
breachts artinya
pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Seorang
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang
akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
B. Wujud
Wanprestasi
Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut
yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat – atau
katakanlah prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang
buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian.
Wanpestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi
seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
1. Tidak
melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
Contoh: A dan B
telah sepakat untuk jual-beli motor dengan merek Snoopy dengan harga Rp 13.000.000,00 yang penyerahannya akan
dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25 Oktober 2011 pukul 10.00. Setelah A
menunggu lama, ternyata si B tidak datang sama sekali tanpa alasan yang jelas.
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya.
Contoh: (Konteks
contoh nomor 1). Si B datang tepat waktu, tapi membawa motor Miu bukan merk Snoopy yang telah diperjanjikan sebelumnya.
3. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tapi kedaluwarsa.
Contoh: (Konteks
contoh nomor 1). Si B datang pada hari itu membawa motor Snoopy, namun datang pada jam 14.00.
4. Melakukan suatu perbuatan yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Contoh:(Konteks
contoh nomor 1). Si B datang tepat pukul 10.00 pada hari itu dan membawa motor Snoopy, namun menyertakan si C sebagai
pihak ketiga yang sudah jelas-jelas dilarang dalam kesepakatan kedua belah
pihak sebelumnya.
Untuk
mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian,
kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan
tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam
hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari
kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.[5]
C. Somasi
Wanprestasi
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur
yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika
atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar debitur
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan
kreditur kepadanya.[6]
Menurut
pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.[7]
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke
stelling).
1)
Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari
hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2)
Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta
dibawah tangan maupun akta notaris.
3)
Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur
sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu
somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat
dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim
apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan
secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi
tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi
yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui
dirinya wanprestasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sebab dan
Akibat Wanprestasi
Wanprestasi
terjadi disebabkan oleh sebab-sebab
sebagai berikut:
a. Kesengajaan atau kelalaian debitur
itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri.
Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
1. Tidak
memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
2. Faktor
keadaan yang bersifat general;
3. Tidak
disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
4. Menyepelekan
perjanjian.
b. Adanya keadaan memaksa (overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi karena unsur
ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan dan
bencana alam.
Ada
empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
1. Perikatan
tetap ada;
2. Debitur
harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
3. Beban
resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak
kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa;
4. Jika
perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH
Perdata.
Akibat
wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur,
sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam,
yaitu:
1. Debitur
diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata);
2. Pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
3. Peralihan
risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH
Perdata);
4. Pembayaran
biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya
swbagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure
salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang
atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk
memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian
kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237
mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi
tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa
perjanjian timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak
untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan
tuntutan ganti rugi.[9]
B.
Penyelesaian
Sengketa Wanprestasi di Pengadilan
Karena
wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan
lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal
itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke
pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh
seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang
pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal
saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang.[10]
Kadang-kadang
juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena
seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan
melakukan wanprestasi yang dijanjikan.[11]
Di
pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi,
bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus meyakinkan hakim
jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut:
1.
Overmacht;
2. Menyatakan bahwa kreditur telah
melepaskan haknya; dan
3.
Kelalaian kreditur.
Jika debitur
tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa
dari debitur tersebut.
Tetapi jika
yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat
menuntut:
1.
Menuntut hak pemenuhan perjanjian;
2.
Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti
rugi sesuai Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya,
ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang
telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan
pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi
harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti
kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut
dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).[12]
a.
Ganti biaya yaitu mengganti pengeluranan yang
dikeluarkan kreditur;
b.
Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
c.
Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya
didapat.
3.
Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang
mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan
putusan yang bersifat declaratoir.
Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi
debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk
menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.[13]
4.
Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
5.
Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak
yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat
gugatan.
Jika debitur
tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka
biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur.
C. Sanksi dan Ganti Rugi terhadap Wanprestasi
Debitur yang wanprestasi kepadanya
dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur,
pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai
diperkarakan secara hukum di pengadilan.[14]
Kewajiban membayar
ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi
kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai
(ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Yang
dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa
kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya
siberhutang tidak lalai (winstderving).[15]
Bahwa
kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara
wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua
sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a)
Conditio Sine qua Non
(Von Buri)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A;
b)
Adequated Veroorzaking
(Von Kries)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).
Dari
kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking
karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat
dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang
paling mendekati keadilan.
Selanjutnya
pasal-pasal 1243-1252 mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip
dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti
meliputi ongkos, kerugian dan bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu
disamping tuntutan ganti rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian,
pelaksanaan hak retensi dan hak reklame.
Karena tuntutan ganti rugi dalam
peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas diakui, bahkan diatur oleh
undang-undang, maka untuk pelaksanaan tuntutan itu, kreditur dapat minta
bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum acara
perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas
harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas
kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanmya telah diletakkan dalam
pasal 1131 KUH Perdata.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebab dan
Akibat Wanprestasi;
a. Kesengajaan atau kelalaian debitur
itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri.
Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
5. Tidak
memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
6. Faktor keadaan
yang bersifat general;
7. Tidak
disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
8. Menyepelekan
perjanjian.
b. Adanya keadaan memaksa (overmacht).
Biasanya,
overmacht terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya
seperti kecelakaan dan bencana alam.
Ada
empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
1. Perikatan
tetap ada;
2. Debitur
harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
3. Beban
resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak
kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa;
4. Jika
perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH
Perdata.
2. Penyelesaian Wanprestasi di Pengadilan
Di
pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan
wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus
meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti
berikut:
a.
Overmacht;
b.
Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya; dan
c.
Kelalaian kreditur.
Jika debitur
tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa
dari debitur tersebut.
Tetapi jika
yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat
menuntut:
1.
Menuntut hak pemenuhan perjanjian;
2.
Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti
rugi;
a.
Ganti biaya yaitu mengganti pengeluaran yang
dikeluarkan kreditur;
b.
Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
c.
Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya
didapat.
3.
Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang
mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan
putusan yang bersifat declaratoir.
Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi
debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk
menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.
4.
Pembatalan
perjanjian disertai ganti rugi;
5.
Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada
bagian petitum dalam surat gugatan.
3. Sanksi dan Ganti Rugi terhadap Wanprestasi
Debitur yang wanprestasi kepadanya
dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur,
pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai
diperkarakan secara hukum di pengadilan.
Kewajiban membayar
ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi
kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak
melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur
dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
B. Saran
Diharapkan kepada semua pihak yang telah melakukan
perjanjian untuk tidak melakukan wanprestasi yang telah nyata menimbulkan
kerugian pada kreditur umumnya dan hakim diharapkan mampu untuk bersikap bijak
dalam mencari keadilan pada perkara wanprestasi
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulhay, Marhainis, Hukum Perdata Materil. 2004. Jakarta : Pradnya Paramita
Pramono,
Nindyo, Hukum Komersil. 2003. Cetakan Pertama. Jakarta: Pusat
Penerbitan UT
Subekti, Hukum
Perjanjian. 1991. Cetakan Ketigabelas.
Jakarta: PT. Intermasa
Subekti, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. 2005.
Cetakan Ketigapuluh enam. Jakarta: Pradnya Paramita
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. 2002. Cetakan Kelima belas. Jakarta: PT.
Intermasa
Sudarsono, Kamus Hukum. 2007. Cetakan Kelima.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Dari
Internet:
http://hukum.kompasiana.com/2011/05/27/wanprestasi/
[1] Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 578
[2] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, hlm. 2
[4] Marhainis Abdulhay, Hukum
Perdata Materil, hlm. 53
[9]
http://rohmadijawi.wordpress.com, Ibid.
[10] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 147
[11] Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 45
[13] Subekti, Ibid, hlm. 148
[14] Dikutip dari: http://hukum.kompasiana.com/2011/05/27/wanprestasi/
[15] Ibid.
trimakasih menambah wawasn
BalasHapus